Jumat, 15 Januari 2010

Keramahan Orang Wonosobo Dieng = Keramahan Orang Indonesia!


Janji menemani temanku melihat sekolah tuna rungu di Wonosobo, langsung terpikir mengunjungi Dieng. Sayang temanku tidak bisa menemani, akhirnya aku memutuskan ‘jalan’ sendiri. Dibantu oleh temanku mencari angkutan travel dari Semarang ke Purwokerto tetapi bisa berhenti di Wonosobo dan penginapan di Wonosobo, aku merasa sudah cukup.
Tibalah hari H, aku dijemput oleh travel dari Semarang, beruntung aku daftar nomer satu, jadi duduk di depan bersama seorang bapak dan pengemudi. Rasanya lebih lega untuk melihat pemandangan. Mulailah si bapak menyapa pengemudi, mulai dari urusan travel, keluarga, pilpres sampai obrolan tentang bom JW Marriott kedua yang baru terjadi. Semua dalam bahasa Jawa halus (belum Jawa kraton sih) yang sangat minim kumengerti, tetapi sempat membuat aku tersenyum dalam hati mendengar obrolan yang tak putus-putusnya itu.
Setelah si bapak puas berbicara dengan pengemudi, giliranku yang kena ‘interview’. Pertanyaan pertama, mau kemana? “Wonosobo,” jawabku. Pertanyaan kedua, asal mana? Pasti si bapak bertanya demikian karena beliau bertanya dalam bahasa Jawa halus tetapi aku menjawab dalam bahasa Indonesia. Kemudian kami mulai percakapan, tidak lama tetapi cukup untuk kami mengetahui sedikit latar belakang masing-masing.


Sampai menjelang masuk Wonosobo kami istirahat di daerah antara gunung Sindoro dan gunung Sumbing, beliau menerangkan obyek wisata yang bisa dilihat dan sejarah kedua gunung tersebut. Mendekati Wonosobo beliau mengatakan, mestinya ke Dieng tetapi jangan sendiri. Ketika kutanya alasannya, beliau tidak menjelaskan dengan pasti, hanya mengatakan dingin sekali.
Sampai di penginapan kurang lebih jam 19 WIB. Aku segera mendapat kamar, kemudian kutanyakan dimana aku bisa makan mie ongklok khas Wonosobo dan bagaimana aku bisa mencapai Dieng esok hari. “Mas” resepsionis menjelaskan apa yang aku perlukan sambil menawarkan diri agar aku tidak salah kendaraan menuju Dieng.
Esok hari sekitar jam 5 aku keluar kamar mencari mas resepsionis dan kamipun berjalan menuju perempatan di mana bus menuju Dieng berada. Sampai di halte bus sekitar jalan A. Yani ada seorang bapak lagi yang membantuku mencari bus menuju Dieng. Akhirnya akupun ‘dititipkan’ pada pengemudi bus beserta kenek-nya. Buspun mulai berjalan mengangkut penumpang yang mayoritas para ibu/bapak yang akan berjualan sepanjang Dieng sampai Batur. Tak ayal lagi bus penuh dengan sayur mayur, gorengan jualan, pisang tandan, telur dan lain-lain.
Celoceh dalam bahasa Jawa haluspun mulai terdengar. Mereka sangat akrab, saling mengenal dan peduli satu sama lain. Hal itu dapat kulihat dari mereka menyapa dengan nama, kemudian menanyakan teman yang ‘mungkin’ biasa satu bus tapi belum ada dan dijawab oleh si pengemudi, ikut bus lain. Setiap ada orang baru yang lewat tempat dudukku, tak lupa mereka menyapaku. Bahkan yang duduk di sampingku ada yang menawarkan sarapan paginya.


Hal yang membuat aku hampir terpingkal-pingkal tetapi tidak bisa, jadi hanya senyam senyum dalam hati adalah ketika pengemudi terlihat terburu-buru menaikan penumpang dan ada penumpang yang ‘protes’. Sang pengemudi menjawab, “Ini ada turis mau ke Dieng, jadi harus cepat-cepat”. Semua percakapan disampaikan dalam bahasa Jawa halus. Langsung yang protes bertanya tentang aku kepada pengemudi.
Sampai di halte Dieng, sang kenek memanggilku untuk turun. Aku bingung, bayanganku halte Dieng besar seperti teminal…ternyata hanya seperti salah satu pemberhentian bus (halte). Rupanya mimik bingungku terbaca oleh seorang bapak yang langsung bertanya, “Sebenarnya mau kemana bu?” Kujawab, “Obyek wisata Dieng pak”. Kemudian dia menunjukkan jalan tepat di sebelah halte, "Ikuti jalan ini nanti sampai di sana."
Akupun turun sambil berpikir berapa jauh lagi aku harus berjalan, kulihat tidak ada kendaraan menuju sana. Maka akupun berjalan kaki. Ternyata tidak begitu dalam ketika kutemukan obyek wisata candi dan warung-warung yang sudah buka. Segera aku mampir di sebuah warung untuk minum Purwaceng sambil bertanya, apa ada orang yang bisa mengantar aku keliling obyek wisata? Maka si ibu warungpun memberikan pelayanan yang kuminta.
Tak lama kemudian datanglah ojek motor sekaligus ‘guide’ wisata untukku. Aku katakan hanya punya waktu 2 jam sebelum aku harus naik bus ke Wonosobo untuk bertemu temanku.
Si bapak yang juga mempunyai “Home Stay” di Dieng itupun mengajak aku keliling sambil menjelaskan apa yang kami lihat.
Kurang lebih jam 10.00 aku sudah diantar kembali menuju bus jurusan Wonosobo. Sebelum aku naik, aku bertanya kepada pengemudi bus, kalau tujuan saya jalan A. Yani, Wonosobo apakah bus tersebut bisa menjangkau daerah itu. Yang kemudian di jawab, “Ini sudah siang, bus tidak bisa kesana. Nanti saya turunkan di daerah terdekat kemudian naik ojek motor ke A. Yani.
Setibanya di Wonosobo, aku diturunkan di daerah terdekat. Ketika pengendara ojek motor aku tanya berapa biayanya, beliau mengatakan, “Dekat, sepemberiannya saja”. Walau tidak suka dengan jawaban itu, akhirnya aku naik juga. Dan ternyata memang dekat. Maka kuberikan ongkos ‘sepemberianku’ saja dan tidak ditolak. Entah pas, kurang atau kebanyakan aku tidak tahu.


Pengalaman-pengalaman di atas sangat berkesan untukku. Sudah pasti aku terlihat lain dari mereka, dengan tas ransel, tshirt, jaket dan jeans. Tetapi mereka sangat ramah dan tidak memanfaatkan ‘ini turis’ mari kita ‘kerjain’. Seperti harga/ongkos yang mereka minta adalah angka normal kalau beda 1000-2000 rupiah, masih kunilai wajar.
Aku membayangkan, jika semua obyek wisata di Indonesia seperti ini, alangkah nikmatnya. Nyaman, aman dan bersahabat. Wanita seperti aku, jalan sendirianpun tidak takut.
Ketika aku bercerita kepada seorang teman, dia mengatakan…orang gunung baik-baik. Hmmm…tidak semuanya pikirku, daerah Puncak – Jawa Barat yang sudah tersentuh oleh komersialisasi, jauh dari aman, ramah dan bersahabat.
Acungan jempol juga untuk pemda Jawa Tengah yang telah membuat obyek wisata Dieng menjadi indah dan terawat. Semoga bisa diikuti oleh daerah-daerah lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar