Jumat, 15 Januari 2010

Dieng, Kawasan Eksotis Penuh Historis


Datang ke Pulau Jawa tidaklah lengkap jika Anda belum berkunjung ke Dataran Tinggi Dieng. Dieng terletak tepat di tengah-tengah Provinsi Jawa Tengah, atau hampir berada di tengah Pulau Jawa. Terletak di antara dua daerah kabupaten, yakni Banjarnegara dan Wonosobo, juga termasuk ke dalam dua wilayah kecamatan, Batur dan Kejajar.
Kawasan Dataran Tinggi Dieng merupakan sebuah kompleks gunung berapi dengan kerucut-kerucut pegunungan serta kawah dan telaga yang menyuguhkan panorama yang sangat mengesankan.
Untuk mencapai dataran tinggi Dieng, Dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu dari arah Banjarnegara dan Wonosobo. Dari banjarnegara dapat dituju dengan kendaraan pribadi melewati kota Banjarnegara- Karangkobar dan Batur. Atau bisa juga dengan kendaraan umum dari terminal bus Pasar Kota Banjarnegara dengan microbus jurusan Banjarnegara-Karangkobar lalu berpindah bus jurusan Karangkobar-Batur lalu jurusan Batur- wonosobo. Sedang dari wonosobo, kita dapat lagsung dari kota Wonosobo dengan kendaraan pribadi atau dengan mikrobus jurusan Wonosobo-Batur


Dieng berada pada ketinggian 6.802 kaki atau 2.093 meter di atas permukaan laut. Karena letaknya yang tinggi, suhu udara di sini pun cukup dingin, rata-rata mencapai 15 0 C, bahkan pada bulan Juli dan Agustus, suhu turun sampai 0 0 C. Maka tidak heran jika jaket tebal, sarung, dan kupluk atau tutup kepala menjadi pakaian keseharian penduduk setempat.
Di Dieng, Matahari terbit tidak hanya sekali, melainkan dua kali atau Double Sunrise. Yang terbit pertama Golden Sunrise dan yang terbit kedua adalah Silver Sunrise.

Golden Sunrise atau matahari terbit dengan warna kuning keemasan ini dapat disaksikan dari gardu pandang atau dari Gunung Sikunir yang terdapat di Desa Sembung, Desa tertinggi di Jawa Tengah. Silver Sunrise dapat disaksikan dari pusat cekungan Dieng, dari Kompleks Candi Arjuna, dengan menempuh waktu 15-20 menit dengan kendaraan bermotor dari Sikunir. Double Sunrise ini terjadi karena bentang alam Dataran Dieng yang dikelilingi oleh gunung-gunung sehinga menutupi cahaya matahari pada pagi hari.
Mengingat suhunya yang dingin, tentunya tak sembarangan tumbuhan dapat hidup dan tumbuh di sini. Tanaman kentang dan kol adalah yang paling banyak ditanam di sini karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Selain itu, Dieng juga terkenal memiliki tanaman khas yang tidak tumbuh di daerah lain.
Karika. Tanaman ini memiliki pohon dan buah mirip dengan pepaya. Hanya saja ukuran dari buahnya relatif kecil, yaitu hanya 10 cm. Buah ini lebih sering ditemui dalam bentuk manisan.
Selain karika, ada juga purwaceng. Tanaman sejenis gingseng ini konon dapat meningkatkan stamina. Tanaman ini kini jarang ditemui lagi. Beruntung kini penduduk Dieng ada yang berinisiatif untuk membuidayakannya.
Di tempat yang terdiri dari gunung, kawah , dan telaga ini juga Sarat dengan unsur-unsur spiritual disetiap sudutnya.
Berdirinya candi-candi Hindu yang dibangun sekitar abad 8 masehi di kawasan Dieng ini menunjukan bahwa Dieng pada saat itu adalah tempat yang suci. Di yang berarti tempat tinggi dan Hyang yang berarti Dewa menggambarkan betapa orang-orang terdahulu menganggap begitu sucinya tempat ini.
Perpaduan alam dan spiritual dieng menjadikan Dieng sebagai daerah wisata alam, budaya, dan religi.
Kawasan Dieng sendiri telah dikunjungi wisatawan sejak tahun 1925 hingga sekarang. Penelitian pertama dilakukan pada tahun 1814 oleh H.C Cornelius setelah kurang lebih 10 abad tak dijamah.
Untuk menuju Dieng, Pada zaman dulu melalui arah selatan. Ini terbukti dari keberadaan jalan kuno yang disusun dari batu. Jalan ini disebut oleh masyarakat setempat dengan nama “Ondho Bodho”
Kini, kebanyakan orang datang dari arah timur. Tepat sebelum cekungan Dieng, di sebelah kanan jalan terdapat mata air kuno yang bernama Tuk Bima Lukar.
Tuk atau mata air ini merupakan hulu dari Sungai Serayu yang mengalir hingga laut selatan. Tuk Bima Lukar ini diyakini sebagai tempat bersuci sebelum memasuki kawasan suci Dieng. Dan menurut cerita, bagi mereka yang ingin awet muda, dapat mencoba untuk mandi disini.
Tidak jauh dari tuk Bhima Lukar, terdapat Watu Kelir dan Sitihinggil.
Watu Kelir merupakan salah satu tinggalan berupa tumpukan batu peregi yang tertata rapi membentuk tanggul pada dinding bukit. Di situs watu kelir ini terdapat juga tangga naik untuk kita menuju ke Siti Hinggil. Siti berarti tanah dan Hinggil berarti tinggi. Selain memang berada di tempat yang tinggi, Sitihinggil diartikan juga sebagai tanah yang ditinggikan atau dihormati Dahulu disini pernah berdiri bangunan suci, tetapi sekarang sudah rata dengan tanah. Terlihat dari batu-batu candi yang tersebar berserakan. Banyak juga batu-batu bekas bangunan ini yang telah beralih fungsi menjadi pondasi bangunan dan pusara makam.
Dari Sitihinggil kita bisa menyaksikan inti Dieng yang ditengahnya terdapat kompleks Candi Arjuna yang dibangun antara abad ke-8 hingga ke 13 masehi.

Kompleks Candi Arjuna terdiri dari dua deret candi yang saling berhadapan. Deret sebelah timur secara berturut-turut adalah Arjuna, Srikandi, Puntadewa, dan Sembadra. Sedangkan deret sebelah barat tinggal tersisa satu candi, yakni Candi Semar saja.
Disekitar candi ditemukan jejak budaya lain, yaitu Gangsiran Aswatama, Sendang Maerakaca, dan Dharmasala.
Gangsiran Aswatama.
Dipercaya sebagai saluran pembuangan air kuno yang dibangun sebelum candi-candi dibangun dan befungsi untuk mengeringkan air yang menggenangi Dataran Tinggi Dieng.
Sendang Maerakaca.
merupakan salah satu petirtaan yang tersisa. Dalam pembangunan sebuah candi, Petirtaan menjadi salah satu syaratnya. Seperti dengan tempat sacral pada umumnya. Air dari sendang ini juga dipercaya memiliki khasiat tertentu.
Peninggalan yang tidak kalah pentingnya adalah Dharmasala, bangunan yang terdiri dari umpak-umpak bangunan yang diperkirakan sebagai rumah singgah para peziarah yang datang ke Dieng
Selain kompleks candi Arjuna, disekitarnya terdapat candi-candi lain seperi Setyaki yang masih direkonstruksi, Gatotkaca, Bima, dan Dwarawati.

Tidak jauh dari Candi Gatotkaca, terdapat pula candi Bima. Candi ini unik karena memiliki denah segi delapan dan atap candi memiliki relung yang diisi dengan hiasan arca Kudu yang sangat jarang dijumpai di dunia. Maka tidak heran jika arca Kudu menjadi incaran pencuri barang antik. Seperti yang telah terjadi beberapa waktu yang lalu.
Setelah puas menjelajahi tinggalan budaya yang dibuat oleh manusia-manusia bersahaja tempo dulu, kita bisa melanjutkan perjalanan ke Kawah Sikidang dan Telaga Warna.
Kawah Sikidang.
Kawah Sikidang ini merupakan salah satu kawah terbesar yang ada di Dataran Tinggi Dieng. Kawah ini menyemburkan gas dan belerang.
Disebut Sikidang kerana tempat semburannya selalu berpindah-pindah tempat seolah melompat-lompat seperti kijang yang sedang berlari.
Suguhan alam lainnya yang menjadi priamdona Dieng adalah Kompleks Telaga Warna dan Pengilon yang menyajkan keindahan alam, suasana mistis, dan tempat-tempat yang sarat akan makna filosofis.
Empat warna di Telaga Warna melambangkan empat tingkatan manusia, sedangkan Telaga Pengilon berarti telaga tempat bercermin dimana orang dapat melakukan introspeksi diri.


Diantara Telaga Warna dan Telaga Pengilon terdapat pulau yang disebut Pertapaan Mandalasari. Tempatnya sangat indah dan mistis. Suasana mistis ditunjuang oleh keberadaan gua-gua keramat seperti Gua Jaran, Gua Semar, dan Gua Sumur. Banyak orang dari penjuru dunia datang kesini untuk bersemedi, termasuk mantan presiden Soeharto.
Gua-gua ditempat ini dianggap sebagai tahapan-tahapan yang harus dilalui para pertapa untuk menghilangkan nafsu duniawi sehingga dapat mencapai manusia yang sempurna.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar